Sebut saja Lee Joo Young—as Ma Hyeon-yi—ketika di awal semasa Park Sae-royi pulang dari berlayar dan masuk ke kedai, saya dan istri berdebat, apakah dia laki-laki atau perempuan karena kami memang tidak mengenal aktris tersebut di luar perannya. Namun saya cukup yakin bahwa dia sebenarnya seorang perempuan namun memerankan peran seorang laki-laki.
Kemudian cerita berlanjut ketika Jo Yi-seo, Kim Dong Hee—as Jang Geun-soo—dan Ryoo Kyung Soo—as Choi Seung Kwon—berangkat ke sebuah klub malam, di dalam klub malam tersebut Choi Seung Kwon sedang menunjukkan aksinya untuk mendekati seorang wanita.
Wanita ini ternyata adalah Ma Hyeon-yi kawan satu kantornya yang berpakaian seperti perempuan tengah menari di atas lantai dansa.
Kemudian mereka nyeletuk soal transgender, dan dalam adegan ini seakan diperlihatkan bahwa transgender adalah sebuah aib yang harus ditutupi.
Konflik pun memuncak ketika lomba memasak di tv untuk memperebutkan gelar kedai terenak di Korea Selatan, di mana isu transgender menjadi bumerang yang bisa membunuh karakter Ma Hyeon-yi.
Sebenarnya setelah saya menelisik lebih jauh, kekerasan terhadap LGBTQ di Korea Selatan bukan merupakan hal baru dan memang sering terjadi dalam kehidupan nyata.
Dalam dokumen yang dirilis oleh Amnesty Internasional dengan judul Serving in Silence; LGBTI People in South Korea’s Military di media sosial pada Mei 2017 sempat ramai oleh pemberitaan media bahwa tentara mereka sedang diselidiki karena melakukan pelanggaran berdasarkan pasal 92–6 dari Undang-Undang Pidana Militer Republik Korea—Korea Selatan, yang melarang hubungan seks antara sesama laki-laki.
Lebih dari 20 tentara didakwa setelah penyelidik militer melakukan penyelidikan. Salah satu tentara dikenal sebagai Kapten “A” dijatuhi hukuman enam bulan penjara dengan hakim menunda eksekusi hukuman selama satu tahun.
Menurut salah satu tentara ketika diwawancara oleh Amnesty Internasional yang mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang gay dan sedang aktif bertugas ketika kejadian tersebut berlangsung. Menurut dia otoritas militer tidak seharusnya menggunakan pasal 92–6, karena sebelumnya pasal itu tidak pernah digunakan sebelumnya.
Kriminalisasi seks antara sesama laki-laki bukanlah masalah baru bagi Korea Selatan, seperti yang telah terjadi sejak berlakunya Undang-Undang Pidana Militer pada tahun 1962. Mahkamah Konstitusi memutuskan klausul tersebut sebagai konstitusional pada tahun 2002, 2011, dan 2016, meskipun yurisdiksi lain dan United Nations telah menemukan bahwa undang-undang mengkriminalisasi aktivitas seksual sesama jenis secara konsensual melanggar hak asasi manusia.
Di sisi lain seorang lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer—LGTBTQ—sering dipandang sebagai kecacatan ataupun penyakit mental. Bahkan gereja beraliran konservatif mengutuk hal tersebut karena menilainya sebagai dosa besar.
Dalam sebuah survei yang dirilis oleh kanal berita bbc.com memperlihatkan bahwa remaja di bawah 18 tahun dari komunitas LGBTQ, teridentifikasi sekitar 45% dari mereka pernah mencoba bunuh diri. Sementara lebih dari setengah remaja itu (atau sekitar 53%) pernah melukai diri mereka sendiri.
Hingga saat ini perjuangan penyintas dalam memperjuangkan hak mereka masih berlangsung, meskipun sejak 2003 kecenderungan tertarik kepada sesama sejenis tidak lagi dikelompokkan sebagai perbuatan berbahaya dan cabul di Korea Selatan.
Namun, diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ tetap terjadi. Setidaknya kurang dari setengah warga Korea Selatan tidak ingin berteman atau bertetangga dengan seorang gay.
Bagi saya film serial drama Korea ini sangat menarik, karena Gwang Jin berani memberikan sentuhan-sentuhan gelap dalam ceritanya yang tentu sangat sensitif bagi masyarakat Korea Selatan seperti LGBTQ dan rasisme.
—
Leave a reply to Roemah AuRa Cancel reply