Beberapa tahun ke belakang tren barbershop kembali bergeliat menjadi sebuah bagian dari kultur anak muda urban dan sub-urban. Pola potongan yang beredar di masyarakat kemudian seakan menjadi mirip—jika tidak bisa disebut seragam—karena terpengaruh demam barbershop ini.
Barbershop dengan tampilan yang eksentrik—karena berbeda jauh dengan tampilan pangkas rambut konvensional—menjamur di seluruh Indonesia. Para barbernya memiliki gaya yang menarik dan necis menunjukkan sebuah keseriusan dari barbershop tersebut.
Di kawasan sub-urban seperti Kabupaten Sidoarjo, barbershop bukanlah hal asing bagi masyarakatnya. Laju aglomerasi Sidoarjo-Surabaya membuat tren barbershop ini cepat tersebar dan digemari oleh beberapa kalangan terutama anak-anak muda. Tapi ada salah satu barbershop yang cukup menarik karena terletak di tengah perkampungan, tepatnya di Jl. RA Mustika Tebel Timur RT 05 RW 06, Desa Tebel, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo. Lampu merah putih biru ciri khas dari barbershop menempel di tembok di bawah guyuran sinar neon box yang bertuliskan Shelter Cukur.
Nun jauh di sana berdasarkan riset yang ditulis oleh Zamani Saqqi Naufal “Implementasi Instagram Sebagai Media Promosi Barber Movement.co Dalam Meningkatkan Konsumen Pada Periode 2016” (2018) menjelaskan bahwa Victoria Sherrow dalam buku Encyclopedia of Hair: A Cultural History menuturkan lampu bergaris merah putih biru yang menjadi ciri khas dari barbershop itu bermula dari sebuah peraturan yang Paus Urbanus II, orang pertama yang meletupkan ide tentang Perang Salib pada abad ke-11.
Para tukang cukur pada 1092 harus menaati keputusan Paus Urbanus II itu dengan bekerja di rumah-rumah ibadah yang tersebar seantero Eropa. Dia sangat terobsesi terhadap kebersihan dan pola hidup sehat para biarawan setiap saat. Bahkan ada larangan untuk memelihara jenggot untuk para biarawan pada masa itu.
Selain mencukur tukang cukur pada masa itu juga mempunyai keahlian medis untuk mendukung program yang dicetuskan oleh Paus Urbanus II, keahlian medis tersebut adalah sedot darah dengan medium lintah untuk mengeluarkan darah kotor yang dianggap sebagai sumber penyakit bagi kesehatan tubuh.
Seiring berjalannya waktu pada 1308 para tukang cukur mulai muncul di London, Inggris. Mereka saling berkomunikasi hingga membentuk serikat tukang cukur di sana. Perkembangan yang begitu pesat membuat Raja Inggris merekrut Le Barbour untuk melakukan standarisasi tukang cukur di sana. Akibatnya para tukang cukur ini terbelah antara mereka yang memiliki keahlian medis dan tidak.
Warna merah putih sendiri mewakili para tukang cukur yang memiliki keahlian medis lantaran warna merah berasal dari bekas dari pengobatan sedot darah dengan lintah. Sedangkan biru putih mewakili para tukang cukur yang tidak memiliki keahlian medis.
Perselisihan tersebut baru dicarikan jalan tengah pada 1450 ketika parlemen Inggris membuat peraturan kepada siapa saja yang ingin membuka praktik barbershop yang menyediakan layanan cukur rambut, sedot darah, cabut gigi, perawatan luka, dan ahli bedah ringan harus memiliki sertifikat yang ditandatangani oleh dua tukang cukur terlatih dan dua ahli bedah.
Setelah membahas secara singkat sejarah unik lampu merah putih biru khas barbesrhop. Kita balik lagi ke Shelter Cukur, sebuah barbershop yang berdiri pada 2018 ini diinisiasi oleh pekerja pemadam kebakaran bernama Ayik. Ayik begitu cermat dalam memanfaatkan waktu luangnya yang cukup banyak ketika bekerja sebagai pemadam kebakaran untuk belajar hal baru yang berguna untuk meningkatkan hard skill sebagai upaya memenuhi biaya hidupnya dan keluarga.
“Utama pasti orang kan uang kan, utama uang. Pertama ya buat tambahan finansial, jujur kan pekerjaan (utama) kurang buat gaji gitu. Jadi terpacu mencari tambahan, jadi terpikir untuk memotong rambut itu,” ungkap Ayik sebagai pemilik Shelter Cukur.
“Saya belajar kurang lebih setengah tahun,” tukasnya.
Tapi tentu saja yang namanya memulai sesuatu yang baru selalu ada rintangannya, seperti apa yang sedang dikerjakan oleh Ayik dengan belajar mencukur rambut terlebih dahulu di barbershop orang lain, kemudian mendirikan sendiri barbershop miliknya di tengah perkampungan mendapatkan sentimen negatif pada awal-awal merintis.
“Saya cerita dari awal ya, awal mula sih saya patok harga murah ibaratnya kayak pangkas rambut 10 ribu, terus beberapa bulan saya naik lagi jadi 13 (ribu), itu masih sendirian gak ada tim. (Dari) 13 (ribu) naik lagi beberapa bulan 15 (ribu), eh setengah tahun 15 (ribu). Setahun baru 20 ribu, itu ada tim, baru punya tim 1 (orang). Beberapa bulan lagi saya itukan (naikkan) 25 (ribu) sampek sekarang dan ada pandemi wes gak bisa, belum bisa kayaknya kasihan,” jelasnya.
“Terus kalau katanya Mas tadi respons orang kampung, ya awalan kan pasti, weh tengah kampung kok mahal gitu. Tapi saya berpatokan, ada kualitas pasti ada harga. Ibaratnya seperti itu,” tambahnya.
Penasaran dengan interview lengkapnya? Kawan-kawan bisa mampir untuk mendengarkan podcast JURNAL API episode #4 melalui tautan di bawah ini.
Di tengah kondisi perekonomian yang rentan sebagai seorang pekerja pemadam kebakaran membuat Ayik harus mengatur siasat agar bisa tetap memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keluarga. Membangun usaha barbershop adalah cara yang dia pilih, dia menjadi pemilik sekaligus seorang barber—sebutan untuk tukang cukur di barbershop—bersama 3 orang rekannya, 2 orang barber dan 1 orang kasir demi tetap bisa menyalakan kompor di rumah mereka masing-masing.
Leave a reply to Dila Cancel reply