Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Sebatang Lisong – W.S. Rendra

Isu pendidikan masih menjadi momok besar di Indonesia, momok ini masih menghantui dusun-dusun kecil yang berada jauh dari hiruk pikuk dan gemerlapnya citra politisi yang saban hari dipoles hingga mengkilap di perkotaan.

Lalu bagaimanakah wajah pendidikan di pesisir Kabupaten Sidoarjo?

Berdasarkan Rencana Strategis (RENSTRA) Kabupaten Sidorjo 2021-2026 Anggaran Belanja Daerah untuk Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mulai dari 2016 sampai 2020 rata-rata mengalami penurunan sebesar 12,59%.

Sedangkan untuk realisasi penggunaan anggaran mulai dari 2016 sampai 2020 rata-rata mengalami penurunan sebesar 13,01%.

Berdasarkan laporan, penurunan ini disebabkan karena efisiensi dan refocusing anggaran untuk Penanganan Covid-19 di Kabupaten Sidoarjo.

Kondisi ini juga diperparah oleh belum meratanya distribusi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di Kabupaten Sidoarjo, serta belum semua sekolah memiliki sarana dan prasarana sesuai Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Dusun Kepetingan adalah sebuah keniscayaan, dan pendidikan akhirnya akan menjadi sesuatu yang mahal bagi mereka yang terpinggirkan.

Beberapa waktu yang lalu, 11 Mei 2023, saya bersama kawan-kawan Aliansi Literasi Surabaya (ALS), Kabut Malam, dan Kampung Lali Gadget (KLG) bertandang ke Dusun Kepetingan, Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo.

Kami bersama-sama berangkat ke sana dengan full sponsorship dari Yayasan Bimasakti Peduli Negeri yang memiliki agenda bakti sosial dengan menggandeng komunitas lokal.

Yap, agenda ini untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada bulan Mei.

Ini adalah kali ketiga saya berkesempatan singgah di Dusun Kepetingan.

Kami berangkat pukul 8.40 melalui jalur laut menggunakan sebuah perahu motor di dermaga kecil Depo Pasar Ikan yang terletak di Lingkar Timur, Kabupaten Sidoarjo.

Sebenarnya ada 2 jalur untuk mengakses Dusun Kepetingan ini, jalur darat dan jalur laut.

Ketika memilih jalur darat yang terletak di batas akhir Desa Sawohan, kalian akan disuguhkan dengan jalur yang cukup sempit sekitar 1-3 meter dengan kondisi kanan dan kiri berbatasan langsung dengan sawah atau tambak.

Waktu tempuhnya pun cukup mirip dengan jalur laut—sekitar 1 jam perjalanan, tapi di jalur darat, dengan medan yang sempit tidak memungkinkan menggunakan kendaraan mobil, hanya bisa diakses dengan motor.

Kondisi inilah yang kemudian menjadi latar belakang kenapa kami menggunakan jalur laut, karena banyaknya barang yang kami bawa untuk disalurkan ke SDN Sawohan 2, SMPN Satu Atap, dan Dusun Kepetingan.

Memilih jalur laut menggunakan perahu motor adalah keputusan paling rasional.

Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan bentang alam pesisir yang masih asri, kenapa asri? Karena beberapa satwa liar masih bermukim di sepanjang jalur ini.

Mulai dari burung hingga predator macam buaya juga hidup nyaman di jalur yang langsung menuju laut lepas ini.

Sungguh gambaran yang akan sulit kami terima jika mengetahui bahwa kami masih berada pada peta administratif Kabupaten Sidoarjo.

Sekitar pukul 9.40, akhirnya kami sampai di dermaga kecil milik Dusun Kepetingan. Satu per satu barang kami turunkan dari perahu motor dengan perlahan.

Kondisi gerimis membuat kami cukup hati-hati agar tidak terpeleset atau bahkan merusak barang telah kami bawa.

Kondisi air yang masih surut ketika itu membuat perahu motor parkir di jembatan dermaga yang paling panjang, karena terlalu dangkal untuk bisa merapat.

Setelah semua barang turun, kami langsung bergegas menuju kompleks sekolah di Dusun Kepetingan. Kenapa kompleks? Yap, karena dalam satu area ini ada 2 sekolah, SD dan SMP.

Kondisi ruang kelas di sana tidak semua bisa ditempati dengan baik. Sekitar 6 ruang kelas yang bisa digunakan dalam proses belajar mengajar, ada 2 ruang kelas yang hancur karena sering tergenang oleh air dari banjir rob.

Kondisi banjir rob di Dusun Kepetingan mungkin bisa dibilang cukup parah karena sudah langganan masuk ke area sekolah.

Dalam 1 tahun, setidaknya ada 4 kali banjir rob dalam skala besar dengan rincian tiap 6 bulan sekali terjadi 2 kali banjir rob.

Lalu apakah pihak sekolah diam saja dan tidak pernah melaporkan kondisi sekolah ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo?

Tentu saja upaya ini sudah dilakukan oleh pihak sekolah melalui pendidik-pendidik mereka melalui jalur-jalur birokrasi.

Seperti lanjutan dari sajak Sebatang Lisong.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Sebatang Lisong – W.S. Rendra

Sama seperti sajak W.S. Rendra, selain pertanyaan-pertanyaan dan usulan-usulan yang mandek karena membentur meja-meja birokrasi, beberapa pendidik juga enggan jika ditempatkan di Dusun Kepetingan.

Akses yang sulit dan infrastruktur yang jauh dari kata layak menjadi beberapa alasan mendasar kenapa pendidik-pendidik tersebut enggan bertugas di dusun ini.

Seperti ketika pendidik juga harus ikut menambal biaya akomodasi perjalanan mengajar mereka—seperti biaya perawatan dan biaya pembelian bahan bakar solar untuk perahu motor, karena biaya yang dianggarkan kurang mencukupi.

Setelah kami ngobrol panjang lebar dengan salah satu pendidik dari SMPN Satu Atap, pukul 10.45, kelas sederhana yang telah kami agendakan dimulai.

Anak-anak yang berada pada jenjang SD ikut bermain permainan tradisional bersama KLG, sedangkan mereka yang berada pada jenjang SMP ikut belajar bersama ALS dengan topik ringan seputar literasi digital.

Beberapa fenomena menarik muncul selama kelas literasi digital berlangsung, mulai dari infrastruktur yang tidak layak, hingga perilaku anak-anak yang melihat laptop seperti melihat hantu yang menyeramkan.

Apa infrastruktur yang tidak layak itu? Beberapa kali dalam 30 menit awal kelas dimulai, aliran listrik sering kali terputus. Ketika terputus harus dinaikkan secara manual pada meteran listrik sekolah.

Kondisi ini yang sering dikeluhkan juga oleh pendidik, ketika aliran listrik tiba-tiba terputus di tengah kegiatan belajar-mengajar anak-anak akan langsung kegerahan dan tidak fokus pada pelajaran.

Kemudian terkait perilaku anak-anak, meskipun mereka berada pada jenjang SMP, sebagian besar dari mereka masih sangat awam tentang teknologi, terutama laptop yang menjadi sarana utama mereka ketika sedang menghadapi ujian.

Menyalakan laptop saja mereka masih kebingungan, apalagi menulis dalam microsoft word.

Pada kelas literasi digital, ketika anak-anak dibagi dalam 5 kelompok untuk mencoba belajar menulis kata dalam microsoft word, mereka takut setengah mati. Takut salah, takut merusak laptop.

Bahkan ada yang berteriak, ketika mendapatkan giliran menulis kata pada laptop.

“Aku gak isok, aku iki gak isok!”

Teriak salah satu anak

Yap, kondisi ini dikonfirmasi oleh pihak sekolah, bahwa memang tidak ada pendidik IT di sana. Memang pernah ada, tapi itu sudah lama sekali.

Kelas pun berlangsung dengan penuh kecemasan dan kesenangan yang muncul secara bersamaan. Akhirnya, kelas selesai pukul 11.45.

Barang-barang yang kami bawa tadi, seperti alat peraga edukasi (APE), laptop, serta peralatan permainan tradisional akan kami tinggal di sana agar bisa dimanfaatkan oleh pendidik dan anak-anak Dusun Kepetingan.

Setelah kelas selesai, kami mulai berpamitan, kami bergegas menuju balai Dusun Kepetingan untuk membantu beberapa kawan yang sedang memasang rak buku.

Kami berharap, setelah kami tinggal mereka bisa memanfaatkan secara mandiri sudut baca tersebut untuk memperkaya dan mempersenjatai imaji mereka.

Tapi tentu, kami bukan malaikat atau juru selamat, kedatangan kami hanya sebuah penghibur bagi mereka, kedatangan kami hanya menawarkan wacana yang mungkin saja sudah ditawarkan oleh organisasi atau komunitas yang datang sebelum kami. Kemampuan kami tentu terbatas.

Menginjak pukul 12.00, kami beristirahat sejenak sembari menghabiskan nasi kotak yang sudah dipesan dari warga lokal.

Sekitar 1 jam berlalu, tepat pukul 13.00 kami bergegas naik ke perahu motor, air yang sudah semakin tinggi memaksa kami untuk tidak berlama-lama di sana.

Selama perjalanan pulang kami berpapasan dengan para nelayan yang hilir-mudik dari laut menuju dermaga di Pasar Ikan, mereka membawa hasil tangkapan mereka, kalau dicermati, rata-rata tiap perahu berisikan 3 orang nelayan.

Langit temaram menemani kami pulang menuju dermaga.

Pukul 14.00, kami sampai di dermaga dengan kondisi baik, kami kemudian saling berpamitan dan bergegas pulang ke rumah masing-masing.

Terima kasih untuk kawan-kawan atas kesempatannya, semoga kita bisa pergi ke sana lagi untuk menengok kabar mereka.

2 responses to “Jurnal Api: Menyulut Kembali Api Literasi di Pesisir Sidoarjo”

  1. tanamkata Avatar

    Mantapp nyalakan terus api literasi di seluruh penjuru negeri🤝🔥🚩✊

    Like

    1. Rizky Rautra Avatar

      Nyalakan api kamerad!

      Like

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started