Sudah lebih dari 2 bulan pasca dipecat dari sebuah start up tech di Jakarta, saya masih belum mendapatkan pekerjaan formal lagi. Berkali-kali saya mencoba melamar ke berbagai lowongan pekerjaan dari berbagai industri hingga role yang tersedia dari bermacam-macam jenis platform penyedia pekerjaan.

Dengan kondisi seperti ini, saya dan Iza harus memutar otak untuk tetap bisa bertahan hidup dari sisa uang tabungan sembari berharap nasib baik menghampiri kami. Salah satu siasat yang kami lakukan adalah dengan mengelola uang makan.

Beruntung, Iza adalah perempuan mandiri yang bisa menghasilkan uang sendiri yang dalam 2 bulan terkahir menjadi penopang kehidupan keluarga kecil kami. Namun, mengelola uang untuk makanan adalah salah satu cara paling efektif yang bisa kami lakukan saat ini.

Hidup di pinggiran kota membuat kami sangat mudah untuk menjangkau pasar yang menyediakan bahan makanan mentah yang murah tapi tetap bergizi. Salah satu makanan bergizi yang menjadi favorit Aksara sedari kecil hingga usianya menginjak 3 tahun adalah ikan lele.

Ikan lele di pasar dekat rumah kami bisa ditebus dengan uang 12 ribu rupiah untuk harga 1/2 kilogramnya. Dari satu bungkus 1/2 kilogram tersebut kami bisa mendapatkan sekitar 8-12 ekor ikan lele. Cukup untuk konsumsi 2 orang dewasa dan 1 orang anak-anak untuk 1 hari penuh.

Kadang jika bosan dengan lele, kami membeli sayur mayur mentah dari pasar dan Iza mengolahnya menjadi sayur sop, sayur asem, sayur bening atau sayur apapun yang bahannya dengan mudah kami dapatkan di pasar dekat rumah. Cukup dengan uang 10-15 ribu untuk sayur mayur dan lauk pauk kami bisa bertahan hidup untuk 1 hari penuh.

Lalu jika tidak bisa memasak karena repot atau sedang ada keperluan, kami biasa membeli soto ayam atau sate ayam di dekat rumah. Mengenai soto ayam, harganya bisa beragam tergantung kebutuhan kami untuk hari itu, mulai dari harga 10-20 ribu rupiah sudah cukup untuk makan kami bertiga hingga malam hari.

Sedangkan untuk sate, harga 10 tusuk sate di sini rata-rata adalah 12 ribu rupiah, cukup terjangkau untuk kami kaum proletariat ini. Kadang kali kami membeli hingga 15 tusuk sate untuk bisa digunakan makan sampai malam hari, jika membeli 15 tusuk harganya cuma 18 ribu rupiah saja.

Lalu bagaimana jika tiba-tiba kami bosan dengan menu tersebut?

Bisanya di malam hari kami membeli nasi goreng atau lele goreng dari warung dekat rumah. Karena lokasi rumah kami ini berada di sabuk industri dan perumahan, banyak sekali penjual nasi goreng yang harganya “ora umum” untuk hari ini.

Misalnya saja nasi goreng di warung belakang rumah, harganya masih 10 ribu rupiah dengan porsi jumbo yang bisa dimakan untuk 2 orang. Meskipun secara rasa tidak bisa dikatakan memanjakan lidah, tapi setidaknya bisa memanjakan perut kami.

Setali tiga uang dengan nasi goreng, harga lele goreng di sini juga sangat-sangat worth it untuk kaum mendang-mending seperti kami. Cukup dengan merogoh kocek 8 ribu rupiah kami sudah mendapatkan lele goreng 2 ekor tanpa nasi, karena nasi bisa kami bisa masak sendiri.

Atau jika masih bosan lagi, kami biasanya agak pergi jauh dari rumah mungkin sekitar 5-10 menit dari rumah untuk bisa makan bebek goreng 10 ribu rupiah. Harga bebek goreng tersebut benar-benar jauh dari harga bebek goreng di warung-warung “Cabang Purnama” yang biasanya mematok harga 15-25 ribu rupiah.

Hidup sebagai pengguran adalah fase kehidupan yang belum pernah lele bayangkan sama sekali, tapi kondisi ini adalah kondisi nyata ketika apa yang kamu punya seperti pengetahuan dan skill yang tidak terpakai oleh kebutuhan industri.

Dengan mengelola uang makan dengan bijak, kami berusaha untuk survive dari hari ke hari sembari menunggu nasih baik datang menghampiri kami. Tapi jika nasib baik tak kunjung datang, maka membuat nasib baik sendiri adalah pilihan yang paling realistis untuk beberapa hari ke depan.

Semoga saja kami bisa bertahan sedikit lebih lama lagi, terima kasih Iza, terima kasih Aksara.

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started